Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem ekonomi barat atau kapitalis, termasuk negara yang terkena imbas dari carut marutnya persoalan ekonomi dunia. Maka krisis demi krisis ekonomi yang terus berulang, seperti di tahun 1930, 1970, 1980, 1999 sampai 2007 ini telah secara nyata membuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis yang mendasarkan diri pada filsafat materialisme – sekularisme telah gagal menjawab dan menyajikan solusi atas persoalan ekonomi dan kemanusiaan.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya Indonesia mengakui adanya tuntutan adanya ekonomi alternatif yaitu Sistem ekonomi Islam dalam bidang perbankan Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu eksis dalam kehidupan masyarakat. Tetapi, itu tidak cukup memberikan legitimasi eksistensi dari sistem perbankan Islam di Indonesia Karena legitimasi tersebut tidak memberikan ruang gerak yang memadai dalam operasionalnya.
Untuk membandingkan perkembangan perbankan syariah, kita bisa lihat perkembangan sistem hukum perbankan Islam di Negara-negara tetangga kita semisal Malaysia, Sehingga, gerak dari sistem perbankan Islam di Malaysia sungguh luar biasa dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam sistem perekenomian nasional Malaysia.
Konsep teoritis mengenai Perbankan Islam muncul pertama kali, menurut dalam bukunya Sultan Remy Sjahadeini bahwa pemikiran dari para penulis yang mula-mula menyampaikan gagasan mengenai perbankan Syari’ah adalah Anwar Iqbal Qureshi, Naiem Siddiqi, dan Mahmmud Ahmad. Kemudian uraian yang lebih rinci tentang gagasan ini ditulis oleh Al Maududi (1950). Maududi Uzair merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya yang berjudul A Groundwork for Interest Free Bank.
Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Sebagaimana disampaikan diatas, perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup menjanjikan walau geraknya tidak secepat perbankan konvensional, hal ini akibat dari sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbankan syariah untuk berkembang. Kita bisa melihat sebelum adanya revisi terhadap undang-undanga perbankan atau munculnya UU No 10 tahun 1998 tentang perbankan, tidak ada perangkat hukum yang mendukung sistim operasional bank syariah, kecuali UU No 7 Tahun 1992 dan PP No 72 Tahun 1992. Dalam UU No 7 Tahun 1992 itu keberadaan perbankan syariah dipahami sebagai bank bagi hasil serta perbankan syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang biasa kita sebut bank konvensional.
Setelah adanya revisi terhadap paraturan perundang-undangan perbankan yaitu munculnya UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan terhadap UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa Bank Syariah adalah Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dalam menjalankan aktivitasnya, Bank Syariah menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengambilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
2. Prinsip Kesederajatan
Bank Syariah menempatkan nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank pada kedudukan yang sama dan sederajat. Hal ini tercermin dalam hak, kewajiban, risiko, dan keuntungan yang berimbang antara nasabah penyimpan dana, nasabah pengguna dana, maupun Bank.
3. Prinsip Ketentraman
Produk-produk Bank Syariah telah sesuai dengan prinsip dan kaidah Muamalah Islam, antara lain tidak adanya unsur riba serta penerapan zakat harta. Dengan demikian, nasabah akan merasakan ketentraman lahir maupun batin.
Pelaksanaan prinsip-prinsip di atas lah yang merupakan pembeda utama antara bank syariah dengan bank konvensional.
Bank Syari’ah / Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, UU tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip Syari’ah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada pasal 6 huruf (m) dan pasal (e) tidak disebutkan Bank Syari’ah (Syariah), akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan PP No. 72 tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.
Pemberlakuan UU Perbankan No. 10 tahun 1998 yang mengubah UU No. 7 tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk SK Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syari’ah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syari’ah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.
UU No.10 tahun 1998 di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia, efek dari hal tersebut adalah perbankan syariah tidak berdiri sendiri(mandiri), sehingga dalam operasionalisasinya masih menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian adanya perbankan syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh perbankan syariah maka dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan secara sendiri perbankan syariah.
Dalam UU No 10/1998 ini juga belum bisa maksimal karena dalam UU ini aspek perbankan syariah dan pendukungnya belum banyak yang dianut secara konsisten. Karena kalau dilihat dari potensi yang dimiliki perbankan syariah yang sungguh luar biasa, tidak mungkin perbankan syariah hanya mendapat porsi dibawah 5 % dari perbankan konvensional nasional, semestinta perbankan syariah bisa mendapatkan porsi 50 % bahkan bisa lebih dari itu, apabila legitisamsi hukum yang diberikan sesuai dengan konsep syariah yang sebenarnya secara kaffah dan konsisten.
Hal ini juga disampaikan Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN), KH Ma’ruf Amin. Menurut KH. Ma’ruf Amin, UU nomor 10/1998 belum terlaksana secara maksimal. Masih banyak yang harus diperbaiki dari UU tersebut, perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki karakter yang berbeda. Karena itu, perlu ada peraturan atau UU tersendiri dari perbankan syariah untuk mempercepat pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah. Karena Idealnya market share (pangsa pasar) bank syariah dan bank konvensional itu fifty-fifty.
Ada revisi terhadap UU Bank Indonesia yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) memberikan support terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia dimana dalam UU No. 23/1999 menugaskan BI untuk mempersiapkan perangkat peraturan atau fasilitas-fasilitas penunjang yang mendukung operasional Bank Syari’ah. Kedua UU tersebut di atas menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia. Dual Banking System yang dimaksud adalah terselenggaranya dua sistem perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam melayani perekonomian nasional yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku (Bank Indonesia, Oktober 2001).
Peran Bank Indonesia sebagai Bank Central Indonesia yang memegang otoritas moneter adalah membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Menurut pasal. 11 ayat 1 UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia adalah dapat memberi kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama sembilan puluh (90) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank tersebut. Hanya saja kesulitan terjadi ketika UU tersebut juga menentukan bahwa bank konvensional maupun bank syariah wajib memberikan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan serta nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Sedangkan maksud agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan adalah meliputi surat berharga atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai otoritas untuk itu. Sedang bagi perbankan syariah untuk dapat menyediakan agunan berupa surat-surat berharga dan/atau tagihan yang tidak berbunga, belum mungkin karena pasar uang (financial market) yang berdasarkan prinsip syariah belum berkembang di Indonesia.
Aspek Hukum Asuransi
Pengaturan Asuransi
A. KUHPerdata
B. KUHD (Ps. 246 s/d 308)
C. UU Nomor 2 Th 1992 tentang Usaha Perasuransian
D. Keppres RI No. 40 Th ttg Usaha di Bidang Asuransi Kerugian
E. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1249/KMK.013/1988 ttg Ketentuan & Tata Cara Pelaksanaaan Usaha di Bidang Asuransi Kerugian
F. KMK RI No. 1250/KMK.013/1988 ttg Usaha Asuransi Jiwa.
Pengertian Asuransi
Pasal 246 KUHD: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.
Asuransi (pertanggungan) adalah perjanjian dua pihak, dengan nama pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, utk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yg diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan (Ps 1 UU No. 2/1992).
Tiga hal dalam Asuransi
1. Penanggung: pihak yang berjanji membayar jika peristiwa pada unsur ke tiga terlaksana.
2. Tertanggung: pihak yang berjanji membayar uang kepada pihak penanggung.
3. Suatu peristiwa belum tentu akan terjadi (evenement)
Unsur-unsur Pasal 246 KUHD
1. Adanya kepentingan (Psl 250 jo 268 KUHD)
2. Adanya peristiwa tak tentu
3. Adanya kerugian
Perbedaan Asuransi dengan Perjudian
1. Terhadap perjudian/pertaruhan UU tidak memberikan akibat hukum. Dari perjudian yang timbul adalah naturlijke verbintenis, sedangkan dari asuransi timbul suatu perikatan sempurna.
2. Kepentingan dalam asuransi adalah karena adanya peristiwa tak tentu itu utk tdk terjadi, di luar/sebelum ditutup perjanjian. Sdgkan perjudian kepentingan atas peristiwa tdk tentu itu baru ada pd kedua belah pihak dengan diadakannya perjudian/perj pertaruhan.
Syarat Syahnya Perjanjian Asuransi
Diatur dalam Psl 1320 KUHPdt
Ditambah ketentuan Psl 251 KUHD ttg pemberitahuan (notification), yakni tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan obyek asuransi. Apabila lalai maka pertanggungan menjdi batal.
Saat terjadinya Perjanjian Asuransi
Asuransi bersifat konsensual-perjanjian harus dibuat tertulis dalam suatu akta yg disebut Polis (Psl 255 ayat (1) jo 258 (1) KUHD)
Pembuktian adanya kata sepakat – polis belum ada pembuktian dilakukan dg sgl catatan, nota, surat perhitungan, telegram
Pembuktian janji-janji dan syarat-syarat khusus– harus tertulis dalam polis, jika janji-janji/syarat2 khusus tidak tercantum dlm polis maka janji2 tsb diaggap tdk ada (batal).
Polis sebagai Bukti Tertulis
Isi Polis (kecuali asuransi jiwa)/Psl 256 KUHD:
1. Hari pembuatan perjanjian asuransi
2. Nama tertanggung, utk diri sendiri atau utk org ketiga.
3. Uraian yg jelas mengenai benda obyek asuransi
4. Jumlah yg dipertanggungkan.
5. Bahaya2 yg ditanggung oleh penanggung.
6. Saat bahaya mulai berjalan & berakhir yg menjadi tanggungan penanggung.
7. Premi asuransi
8. Umumnya semua keadaan yg perlu diketahui oleh penanggung & segala syarat yg diperjanjikan antara pihak-pihak.
Dalam polis juga hrs dicantumkan isi polis dari berbagai asuransi yg diadakan lebih dahulu (sebelumnya), dengan ancaman batal jika tidak dicantumkan (Psl 271, 272, 280, 603, 606, 615 KUHD).
Jenis-jenis Polis
A. Polis maskapai
B. Polis bursa (Amsterdam & Rotterdam)
C. Polis Lloyds
D. Polis perjalanan (voyage policy)
E. Polis waktu (time policy)
Prinsip-Prinsip dalam Asuransi
1. Prinsip Kepentingan yg dapat diasuransikan (insurable interest) : hak subyektif yg mungkin akan lenyap atau berkurang krn peristiwa tdk tentu.
2. Prinsip Itikad Baik (Utmost Goodfaith)
3. Prinsip Keseimbangan (Idemniteit Principle)
4. Prinsip Subrograsi (Subrogration Principle)
5. Prinsip Sebab akibat (Causaliteit Principle)
6. Prinsip Kontribusi
7. Prinsip Follow the Fortunes, berlaku bagi re-asuransi.
Contoh Kasus :
Kasus bank century menjadi topik terhangat baik dikalangan ekomom maupun politikus, karena kasus bank century merupakan kasus besar yang berdampak besar pada kondisi politik dan ekonomi. Dan bahkan kono ceritanya kasus inimelibatkan bebrapa lembaga tinggi negara dan menyeret bebrapa pejabat tinggi di negeri ini. Lalu bagaimana pemyelesaian kasus bank century ini? Presiden mendukung pengusutan tuntas kasus Bank Century dan tidak ingin merugikan negara. Presiden juga mendukung jika hak angket DPR RI merupakan solusi terbaik untuk mengungkap fakta soal aliran dana Bank Century.
Berikut kutipan lengkap pidato Presiden mengenai penyelesaian kasus Bank Century:
"menyangkut kasus Bank Century selama ini saya masih menunggu hasil pemeriksaan investigasi yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK yang dilakukan atas permintaan DPR RI. Saya sungguh menghormati proses itu dan saya tidak ingin mengeluarkan pernyataan yang mendahului, apalagi ditafsirkan sebagai upaya mempengaruhi proses audit investigasi yang dilakukan BPK. Tadi sore saya telah bertemu dengan Ketua dan anggota BPK yang menyampaikan laporan hasil pemeriksaan investigasi atas Bank Century. Dengan demikian, malam ini tepat bagi saya untuk menyampaikan sikap dan pandangan saya berkaitan dengan kasus Bank Century tersebut."
Dilain pihak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, bila bank Century ditutup bisa menyebabkan rush di bank-bank lain.
"Secara sistemik akan memengaruhi bank yang lain, maka eskalasi akan bisa menjalar ke sistem perbankan nasional," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers, Selasa (24/11) di Jakarta. Bila hal itu dibiarkan, kata Menkeu, akan mengganggu sistem perbankan serta menurunkan kepercayaan kepada sistem perbankan dan keuangan Indonesia.
Kasus Century menjadi salah satu skandal menghebohkan dalam bisnis perbankan Indonesia. Pemerintah mengucurkan dana Rp 6,7 triliun demi menyelamatkan bank itu atas alasan menyelamatkan perbankan nasional yang bisa gagal secara sistemik jika bank dibiarkan kolaps.
Sumber: http://jufrism.wordpress.com/2008/02/19/aspek-hukum-kebijakan-pengembangan-produk-perbankan-syariah/, http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/tugas-aspek-hukum-dalam-ekonomi-hukum-tentang-asuransi/, http://masalahperbankan-rachman.blogspot.com/, http://masmintos.blogspot.com/2009/11/penyelasaian-kasus-bank-century.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar